Membangun Kesadaran Bersama

Oleh Novita Lestari JAKARTA, Investor Daily-Rencana kenaikan harga BBM yang mulai diberlakukan akhir Mei ini tentulah sangat memberatkan masyarakat. Namun, hendaknya disadari bahwa semua itu adalah bagian dari upaya penyelamatan APBN dan penyelamatan bangsa ini secara keseluruhan. Menyimak alasan yang kerap disampaikan pemerintah, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mestinya tidak direnspons secara berlebihan atau keluar dari konteks permasalahan. Sayangnya, rencana tersebut dipolitisasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan apa yang terjadi adalah dosa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Sampai ada yang mengatakan SBY-JK telah mengingkari janji politik yang mereka sampaikan saat kampanye Pemilu 2004 silam. Jauh lebih penting dari sekadar politisasi terhadap keputusan pemerintah tersebut, kita mestinya kembali membangun kebersamaan di antara segenap komponen bangsa menghadapi situasi yang serba sulit dan tampaknya bakal semakin sulit. Rakyat tentu masih ingat kebijakan menaikkan harga BBM tahun 2005 lalu yang dampaknya terasa sangat menyesakkan. Kebijakan itu telah menurunkan daya beli masyarakat. Muaranya, makin bertambah jumlah penduduk miskin. Situasi serupa dihadapi pemerintah Indonesia saat ini. Bagi pemerintah, dampak lonjakan harga bahan bakar minyak yang berkombinasi dengan penurunan kinerja ekonomi AS ini menjadi sangat dilematis. Bila masalah tersebut disikapi dengan tetap menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pemerintah harus siap menanggung risiko politik dan sosial. Secara politis, kenaikan harga BBM membuat pemerintah tidak populer, sementara secara sosial, kenaikan harga BBM juga mengakibatkan daya beli masyarakat semakin terpuruk. Selamatkan APBN Masalah utamanya adalah, jika harga BBM tidak dinaikkan, risiko ekonomi juga amat serius. APBN menjadi tidak sehat dan tidak produktif karena subsidi BBM membengkak. Terlebih kalau harga minyak mentah dunia terus membubung. Sekarang ini harga minyak dunia sudah melampaui level US$ 125 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah melampaui asumsi APBN 2008 yang dipatok US$ 95 per barel. Dengan demikian, beban subsidi BBM dalam APBN membengkak menjadi Rp 126 triliun. Ditambah subsidi listrik Rp 60,4 triliun dan subsidi non-BBM (subsidi pangan, subsidi pajak, dan lain-lain), total beban subsidi ini menjadi Rp 234,4 triliun. Kalau harga BBM tidak dinaikkan, angka itu amat mungkin menembus Rp 300 triliun. Jadi, sungguh serius risiko ekonomis jika harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan. APBN bisa benar-benar jebol karena lebih dari sepertiga pengeluaran negara habis tersedot untuk mengongkosi subsidi. Pada gilirannya itu membuat kepercayaan investor terhadap ekonomi nasional menjadi luntur. Yang pasti, kondisi ekonomi Indonesia tertekan akibat harga minyak yang naik gila-gilaan ini. Kenaikan itu tidak hanya membuat pemerintah bingung menyusun anggaran, tetapi juga harus hati-hati menyusun strategi menghadapi perubahan ekonomi dunia agar ekonomi kita tetap selamat. Fundamen ekonomi kita belum terlalu kokoh. Belum lagi krisis pangan global. Kebersamaan Politikus Begitu banyak masalah yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat. Salah langkah, krisis yang terjadi seperti sepuluh tahun silam bisa berulang. Inilah yang mengkhawatirkan. Kita belum pulih dari krisis, kini datang krisis baru. Bagi SBY-Kalla, tentu ada risiko politik yang dihadapi menjelang pemilihan umum dan pilpres 2009. Kalangan pengamat politik memprediksi kebijakan kenaikan harga BBM akan menurunkan lagi tingkat popularitas mereka dan juga tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Tetapi kita justru salut kalau pemimpin tak lagi terlalu merisaukan popularitas demi kepentingan bangsa. Kini masalahnya bagaimana kebersamaan dibangun, terutama di kalangan para politikus agar keadaan bisa terkendali. Janganlah kebijakan-kebijakan seperti itu dijadikan komoditas politik. Cobalah seluruh komponen bangsa ini berpikir secara rasional. Siapa pun yang duduk di pemerintahan saat ini ia akan kesulitan mencari alternatif pemecahan masalah, karena tekanan ekonomi, terutama yang berasal dari luar memang sudah sangat berat. Dalam menyikapi persoalan BBM saat ini, pemerintah tentu harus ekstra hati-hati. Tapi, bagaimanapun, keputusan harus segera dilakukan. Khalayak luas, termasuk dunia usaha, kini amat menantikan keputusan pemerintah; apakah menaikkan harga BBM bersubsidi ataukah memilih menanggung beban subsidi dalam APBN yang semakin membengkak. Apa pun pilihan kebijakan yang kelak ditempuh pemerintah, kita berharap itu sudah benar-benar dikaji secara saksama. Ini terutama menyangkut langkah-langkah penanganan taktis-strategis atas berbagai implikasi kebijakan yang ditempuh itu, termasuk upaya pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) Plus sebesar Rp 100.000 per keluarga per bulan selama setahun. Jika kenaikan harga BBM serta langkah-langkah ikutannya dikomunikasikan dengan baik, rasanya keputusan pemerintah ini tidak akan memunculkan gejolak di masyarakat. Karena langkah itu pada hakikatnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahtreraan masyarakat lapis bawah. Selama ini yang menikmati subsidi justru masyarakat kelas menengah ke atas sebagai konsumen tetap BBM bersubsidi, sedangkan masyarakat lapis bawah nyaris tidak menikmatinya. Yang pasti, kenaikan harga BBM bersubsidi harus diantisipasi secara cerdas oleh masyarakat, salah satunya dengan bersikap hidup hemat. Selain, tentu saja, program-program sosial sebagai kompensasi untuk membantu masyarakat bawah harus ditingkatkan dan diefektifkan. *) Penulis adalah pemerhati sosial dan peneliti pada The Progresive Institute Yogyakarta.

Posted in Labels: , |

0 comments:

Yahoo! Web Hosting - Build a great web site with our easy-to-use tools Your Ad Here

Online Payment

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.