Harga Pangan Picu Krisis Ekonomi

[JAKARTA] Indonesia harus mewaspadai ancaman krisis menyusul gejala gelembung komoditas (commodities bubble) yang muncul pascakrisis subprime mortgage (krisis kredit bermasalah di sektor properti) di Amerika Serikat. Fenomena commodities bubble ini terjadi karena investor pasar keuangan mengalihkan dana-dana investasi jangka pendek (hot money), dari aset di pasar keuangan ke pasar komoditas, menyusul terus melonjaknya harga komoditas, terutama pangan. "Langkah ini dimotivasi kombinasi dua hal, yakni sebagai upaya diversifikasi risiko investasi, sekaligus untuk mengkompensasi kerugian di pasar keuangan," ujar ekonom yang juga anggota DPR, Dradjad H Wibowo, kepada SP, di Jakarta, Sabtu (21/3). Menurut dia, Indonesia berpotensi menuai dampak negatif dari fenomena tersebut, selain tam- bahan beban yang sangat besar terhadap APBN. Ada tiga dampak negatif yang akan dialami Indo-nesia. Pertama, tingginya inflasi yang dipicu kenaikan harga komoditas, baik produk primer, pangan, maupun migas. Kedua, naiknya tingkat inflasi yang sangat mungkin di luar kendali Bank Indonesia. Ke-tiga, fenomena itu memicu distorsi dalam harga relatif antarkomoditas, yang pada akhirnya menimbulkan investasi berlebihan pada proyek-proyek komoditas. Beberapa komoditas, lanjut Dradjad, sepintas saat ini tampak menguntungkan. Padahal, tingginya harga tersebut tak lebih dari gelembung yang mudah pecah. "Celakanya perbankan mudah terkecoh dengan menggelontorkan kredit untuk bisnis komoditas tersebut secara besar-besaran. Komoditas dimaksud adalah biji-bijian seperti kedelai dan jagung, minyak nabati, dan produk primer lainnya," ungkapnya. Padahal komoditas perkebunan dan pertambangan mempunyai periode menghasilkan laba cukup lama, di samping juga be-risiko tinggi. Jika pada masa produksi berlangsung ternyata harga komoditas anjlok, investasi yang berlebihan ini akan menimbulkan kredit macet dan krisis keuangan lanjutan. "Jika itu terjadi, maka krisis ekonomi jilid dua benar-benar mengancam Indonesia. Perbankan perlu waspada terhadap kemungkinan ini," ujar Dradjad. Senada dengan itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menganalisis adanya gejala spekulasi bisnis komoditas pangan. Tingginya harga pangan mendorong terjadinya "pergeseran aset" dalam perdagangan komoditas global. Selain itu, melemahnya bisnis di pasar keuangan juga ikut mempengaruhinya. Untuk itu, dia menegaskan, Indonesia perlu memperkuat cadangan pangan di dalam negeri. "Strategi peningkatan produksi tetap harus menjadi acuan pemerintah pusat dan daerah, bukan mempertimbangkan situasi pangan global," tegasnya. Manajemen Stok Selain itu, dia menyarankan agar pemerintah segera memilah strategi manajemen stok sesuai dengan karakter komoditas, rasio produksi konsumsi, respons petani, serta kematangan pasar. Ia menyontohkan, beras biasanya melimpah terutama pada Maret-April, karena panen raya. Sekitar 60 persen stok beras nasional dipenuhi pada bulan tersebut. Seharusnya, pemerintah, melalui Perum Bulog, berupaya keras menyerap gabah petani dalam rangka manajemen stok itu. Demikian juga dengan komoditas jagung atau kedelai, yang biasanya melimpah pada Agustus- September. Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Kaman Nainggolan mengatakan, sulit untuk menerapkan manajemen stok komoditas strategis selama masalah permodalan petani dibiarkan terjerat para tengkulak. Masuknya para pemain pasar uang ke bisnis komoditas, dikhawatirkan akan menambah banyak para tengkulak dengan "wajah" dan sistem kerja yang lebih canggih. "Jika ini dibiarkan, maka stok komoditas strategis akan tetap dikuasai para pedagang yang sebagian di antaranya bertindak sebagai spekulan," ujarnya. Selama ini, lanjut Kaman, respons kalangan perbankan terhadap imbauan pemerintah untuk membiayai petani sangat tidak memadai. Oleh karena itu, Deptan memilih mengembangkan skim pembiayaan petani dengan memperkuat struktur ekonomi pedesaan. Ia mencontohkan adanya skim permodalan melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang mencakup 10.000 desa. Kemudian, program Dana Pengembangan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP), dan Pengembangan Desa Mandiri Pangan, yang sudah berjalan di lebih dari 5.000 desa. Stimulan-stimulan tersebut diharapkan bisa melepaskan petani dari tengkulak.

Posted in Labels: |

0 comments:

Yahoo! Web Hosting - Build a great web site with our easy-to-use tools Your Ad Here

Online Payment

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.