Drama Gubernur BI

Secara resmi akhirnya DPR menolak calon Gubernur Bank Indonesia (BI) yang diajukan pemerintah, baik lewat voting oleh anggota Komisi XI DPR maupun sidang paripurna DPR RI. Dengan demikian, peluang Agus Martowardojo untuk terpilih menjadi Gubernur BI benar-benar sudah tertutup. Sementara Raden Pardede sejak awal memang dipasang hanya sebagai ''petinju bayangan". Peristiwa ini secara politis sebetulnya menggambarkan betapa rapuhnya dukungan DPR kepada pemerintah karena yang mengawal calon pemerintah hanya Partai Golkar dan Demokrat. Sementara partai-partai lain yang juga memiliki wakil di kabinet (PKB, PAN, PKS, dan yang lain) justru berada di barisan penentang calon pemerintah. Kita bisa memberikan banyak argumen terhadap fenomena ini. Namun, yang paling penting adalah menjadikan kasus ini sebagai hikmah dan pelajaran bagi pemerintah sehingga calon yang akan diajukan nantinya tidak dimentahkan lagi oleh DPR. Kebutuhan Objektif Otoritas setingkat Gubernur BI tentu saja merupakan jabatan politis sehingga pertimbangan-pertimbangan politik sudah sewajarnya mendapatkan ruang yang besar. Namun, karena secara fungsional BI harus memerankan diri sebagai pengendali ekonomi (dari sisi moneter), mau tidak mau pemilihan figur Gubernur BI secara objektif juga harus memenuhi unsur sebagai individu yang memiliki kredibilitas penjaga gawang otoritas moneter. Lagipula, harus disadari saat ini begitu banyak pekerjaan rumah di sektor moneter yang harus diselesaikan sebagai jalan keluar untuk menggerakkan sektor lainnya (baca: sektor riil). Di sini setidaknya terdapat tiga tugas penting yang harus dikaji oleh BI: (i) mencari sumber selisih jalan (decoupling) antara sektor finansial dan sektor riil; (ii) mendesain kelembagaan yang membuat sektor perbankan ramah terhadap pelaku usaha, khususnya UMKM; dan (iii) memanfaatkan independensi BI sebagai instrumen melakukan tindakan pemihakan (affirmative action). Menyangkut keterpisahan antara sektor finansial dan sektor riil, memang banyak analisis yang diberikan para pengamat. Namun, intinya adalah adanya pergeseran misi sektor perbankan dari semula sebagai lembaga penopang sektor riil (institusi intermediasi) menjadi organisasi pencari rente dan spekulasi. Dugaan bahwa sektor riil lesu sehingga perbankan memiliki risiko yang tinggi untuk menyalurkan pinjaman dalam banyak kasus tidak terbukti kebenarannya. Kenyataannya, perbankan lebih banyak tidak mau keluar ''keringat'' untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang prospektif sekaligus melakukan monitoring sehingga layak diberikan kredit.Sektor perbankan justru menempatkan sebagian DPK (dana pihak ketiga) ke dalam instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau jual beli valuta asing (valas). Perilaku itu membuat fungsi perbankan tidak lebih sebagai ''makelar'' atau money changer yang jelas tidak berdampak terhadap pergerakan sektor riil. Selanjutnya, sekira 99,5 persen jenis usaha di Indonesia adalah sektor UMKM. Namun, hingga kini mereka hanya menyerap sekira 52 persen dari total kredit perbankan. Data lainnya, UMKM yang memiliki akses terhadap perbankan cuma 25 persen, sehingga sebagian besar lainnya (75 persen) tidak bankable. Soal ini tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada dunia perbankan, tapi secara sistematis BI harus mendesain aturan main yang membuat sektor perbankan ramah terhadap UMKM. Jika ini terjadi, secara otomatis sektor riil akan jalan. Kemudian, independensi BI bukan hanya dimaksudkan agar setiap kebijakan yang diputuskan tidak didikte pemerintah, juga memanfaatkan independensi tersebut bagi pemihakan pelaku ekonomi yang tidak disantuni oleh kebijakan pemerintah. Di luar soal UMKM, pemerintah selama ini abai dengan kepentingan sektor pertanian sehingga terbuka bagi BI memihak sektor itu, bila perlu dengan cara menginisiasi pembuatan bank pertanian. Kebutuhan Politis Deskripsi di atas menunjukkan kebutuhan objektif terhadap figur Gubernur BI saat sekarang bukan seperti yang diopinikan selama ini, yakni figurnya harus cakap di sektor moneter. Tentu saja opini itu tidak salah. Namun, jika hanya kapabel dalam bidang moneter, dia cuma akan berjibaku dengan urusan yang sempit, yaitu mengendalikan inflasi, kurs rupiah, jumlah uang beredar, dan suku bunga. Dalam situasi saat ini yang diperlukan adalah figur Gubernur BI yang memiliki kecakapan makroekonomi sehingga dia mengenali dengan baik postur persoalan di sektor finansial maupun sektor riil. Jika kapabilitas itu dipunyai, bank sentral dapat mendesain kebijakan-kebijakan moneter yang berbarengan dengan kebutuhan sektor riil. Selebihnya, dengan penguasaan makro ekonomi yang mumpuni, diharapkan bank sentral menjadi lokomotif yang menggerakkan sektor ekonomi yang selama ini tertinggal, seperti UMKM dan sektor pertanian. Last but not least, selain kebutuhan objektif di atas, faktor politis mutlak dipertimbangkan bagi pemilihan Gubernur BI. Maksudnya, dalam transaksi pengambilan keputusan yang sangat ketat saat ini, di mana peran lembaga legislatif yang sangat besar, figur Gubernur BI juga harus memiliki kepekaan politik (political sense) sehingga kebijakan yang dipilih dapat mulus dijalankan. Ini berarti, calon tersebut sejak awal harus disosialisasi ke DPR sehingga ketika nanti terpilih tidak mengalami kesulitan untuk membangun komunikasi dan lobi dengan lembaga legislatif tersebut. Seterusnya, di luar itu syarat-syarat normatif semacam kepemimpinan, independensi, dan kredibilitas juga tidak boleh dialpakan (karena ini menjelang musim Pemilu). Jadi, apa boleh buat, karena jabatan Gubernur BI sangat strategis dan prestisius, dibutuhkan syarat yang sangat banyak. Jalan ini mungkin sulit dan terjal, tapi stok figur seperti itu masih tersedia di republik ini. (*) AHMAD ERANI YUSTIKA Direktur Eksekutif Indef dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw

Posted in Labels: |

0 comments:

Yahoo! Web Hosting - Build a great web site with our easy-to-use tools Your Ad Here

Online Payment

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.