IndonesiaTak Siap Hadapi Krisis

[TANGERANG] Indonesia dinilai tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi krisis global yang berawal dari krisis subprime mortgage (krisis kredit bermasalah sektor properti) di Amerika Serikat (AS) serta melonjaknya harga minyak dunia. Ini terlihat dari keputusan pemerintah dan DPR yang masih mematok asumsi harga minyak dunia dalam APBN 2008 sebesar US$ 60 per barel, sebelum direvisi dalam APBN Perubahan 2008 sebesar US$ 95 per barel. Kritik tersebut dikemukakan pakar ekonomi dunia, Prof Dr Steve Hanke dalam kuliah umumnya bertema "The Federal Reserve's Bubble Machine", di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Rabu (26/3) pagi. "Krisis tampaknya akan terjadi di seluruh negara Asia. Khusus untuk Indonesia, saya melihat Indonesia sama sekali tidak siap dengan hantaman krisis ini. Asumsi harga minyak dunia hanya US$ 60 per barel dalam anggaran negara (APBN 2008). Itu sangat tidak realistis. Padahal, asumsi harga minyak dunia oleh IMF saja sebesar US$ 80. Kalau mau aman, US$ 100," tuturnya. Alhasil, subsidi untuk BBM dan listrik pun meningkat seiring melonjaknya harga minyak dunia. Dari sini, Hanke melihat, Pemerintah Indonesia seolah-olah tidak punya rencana yang matang. Seharusnya pemerintah memiliki beberapa alternatif untuk menghadapi kon- disi seperti ini. "Anggaran negara itu penting sekali. Itu adalah sebuah game plan, jantung dari seluruh kebijakan bisnis. Makanya, saya benar-benar kaget mengetahui asumsi harga minyak dunia dalam APBN 2008 hanya sebesar US$ 60. Ini menandakan Indonesia tidak menyiapkan diri dengan baik, karena tanda-tanda krisis dan kenaikan harga minyak sudah terjadi sejak tahun lalu," paparnya. Selain itu, guru besar senior di John Hopkins University ini mengkritik anggaran infrastruktur yang dimasukkan pemerintah dalam pos pengeluaran di APBN 2008. "Sewaktu Soeharto memerintah, anggaran infrastruktur sebesar 45 persen dari GDP (produk domestik bruto). Namun sekarang hanya 3 persen dari GDP. Ini sangat kecil, karena infrastruktur itu penting. Termasuk investasi pendidikan dan sumber daya manusia," kata Hanke yang dipercaya menjadi penasihat ekonomi Soeharto pada Februari 1998 itu. Penganggaran pos-pos penge- luaran juga tak lepas dari penilaiannya. Ia melihat, pemerintah kurang realistis dan efisien dalam mengatur pos belanja negara. Delapan persen APBN untuk bidang kesehatan, sementara 8,9 persennya dihabiskan untuk memberikan subsidi. "Indonesia punya aset besar seperti minyak yang kemudian dikonversikan menjadi subsidi, konsumsi, bukan investasi SDM seperti pendidikan," lanjutnya. Opsi kenaikan harga BBM di Indonesia, dinilai Steve Hanke kurang cocok. Pasalnya, meski mengurangi beban pemerintah, kenaikan harga BBM akan menambah beban rakyat. Dalam kuliahnya tersebut, Hanke juga mengkritik beberapa kebijakan ekonomi Pemerintah AS. Kemudian, ia juga melihat, kebijakan Federal Reserve atau Bank Sentral AS melakukan pengembalian pajak atau tax rebate, tidak akan memberikan dampak apapun. Hanke menilai, sumber dari seluruh krisis yang terjadi saat ini adalah The Fed itu sendiri. Jika saja mereka tidak memperkenalkan bunga yang sangat rendah, pelaku bisnis tidak akan tergerak mengajukan kredit, begitu juga dengan bank-bank yang memberikan kredit.

Posted in Labels: |

0 comments:

Yahoo! Web Hosting - Build a great web site with our easy-to-use tools Your Ad Here

Online Payment

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.